Sejarah Desa

1

 

 

KISAH CERITA

DEMANG CANDUK, LUMBIR, BANYUMAS

 

 

PENGANTAR

 

Bismillahirrahmanirrahim

 

 

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, perkenankanlah kami bermaksud untuk berbagi tentang kisah dan cerita Demang Canduk atau Kademangan Canduk sejarah yang terlupakan, kisah cerita ini kami angkat sebagai bentuk penghormatan terhadap kakek nenek  leluhur yang telah berjasa terhadap anak cucu dan masyarakat. Untuk menggali dan mengungkap kisah cerita Kademangan Canduk  kami telusuri dari beberapa referensi sumber data antara lain : Salinan naskah babad Kademangan Canduk, naskah cariyos sempalan babad Demang Candhuk karangan Mukmin guru bantu pamulang angka II ing Wangon Jatilawang yang dimuat dalam Majalah Kejawen Balai Pustaka tahun 1932, Babad tanah jawi dan babad Giyanthi karangan R. Ngabehi Yosodipuro I, naskah tulisan Bupati Mukmin Cilacap tahun 1977 dan Asal silah Demang Canduk, Silsilah Demang Canduk Paguyuban Canduk Kracak (Cakra), dan konon menurut cerita orang tua dan para  pinisepuh trah Demang Canduk bahwa lembaran sejarah atau babad Demang Canduk maupun silsilah itu sebenarnya pernah ada dan telah tersusun, akan tetapi hingga saat ini kami belum dapat menemukanya, namun demikian melalui penelusuran yang kami lakukan dapat diperoleh data dari berbagai sumber yang saling berkaitan sehingga dapat tersusun dalam tulisan yang kami sajikan dalam Kisah Cerita Demang Canduk, tulisan ini jauh dari kesempurnaan oleh karenanya kami mohon saran pendapat dari semua pihak terutama keluarga besar trah Demang Canduk dan mohon maaf bila terdapat kekeliruan.

 

Demikian, kiranya dapat bermanfaat.

 

Terima kasih

Penyusun

 

ttd

 

SUGENG HARSOYO

AKBP ( PURN )

 

 

2

 

 

 1. PENDAHULUAN

 

Bahwa Kademangan Canduk atau Canthuk Kuning atau Canthuk Kemantren atau Kademangan Agung Canthuk Emas atau Canduk, berdiri pada masa pemerintahan  Kasultanan Mataram Islam yang pada saat itu bertahta adalah Sinuwun Panembahan Hanyokrowati raja yang kedua di Kasultanan Mataram Islam Kotagede. Kademangan Canduk berpusat pada saat ini di Desa Canduk, Kecamatan Lumbir Kabupaten Banyumas. Tidak banyak peninggalan atau patilasan yang diketemukan, peninggalan atau petilasan yang dapat ditemukan hingga saat ini antara lain  : Makam para Demang, penatus dan keturunanya yang terletak pada satu bukit berundak di Desa Canduk, kemudian Masjid Desa Canduk yang sudah mengalami banyak perubahan sedang peninggalan  yang masih berdiri kokoh adalah bangunan Pendopo Demang Canduk yang saat ini berada di Desa Gumilir Kabupaten Cilacap. Namun demikian sangat menarik kisah dan cerita Kademangan Canduk untuk diabadikan karena merupakan sejarah yang layak untuk dilestarikan terutama bagi anak cucu trah keturunan. Oleh karenanya kami memohon ijin kepada para leluhur, para pinisepuh dan kepada seluruh keluarga besar trah Demang Canduk dimanapun berada kiranya berkenan dengan tulisan ini dan mohon maaf sekiranya terdapat hal yang belum sesuai.

 

  1. SUMBER CERITA

 

  1. Salinan naskah sempalan babad Kademanngan Canduk
  2. Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk karangan Mukmin guru bantu pamulang angka II ing Wangon Jatilawang yang dimuat dalam Majalah Kejawen Balai Pustaka tahun 1932
  3. Babad tanah jawi dan babad Giyanthi karangan R. Ngabehi Yosodipuro I
  4. Naskah tulisan Bupati Mukmin Cilacap tahun 1977.
  5. Silsilah Demang Canduk Paguyuban Canduk Kracak (Cakra)

 

  • KISAH CERITA DEMANG CANDUK

 

  1. Demang Ngabehi Singawinata.

 

Dikisahkan bahwa disuatu padukuhan atau pedusunan atau gerumbul yang saat ini bernama Dusun atau Gerumbul Banyumasan, Desa Canduk, seorang pemuda bernama Singawinata yang gemar berguru menuntut ilmu di padepokan dan gemar melakukan laku prihatin sehingga Singawinata mendapatkan kanugrahan sebagai seorang Tabib atau Dukun, ahli pengobatan yang dapat menolong orang-orang menyembuhkan berbagai penyakit.

 

3

 

Walaupun sudah menjadi ahli pengobatan tersohor pada saat itu, kebiasaan Singawinata dalam berguru menuntut ilmu dan laku prihatin tetap dilakukan hingga pada suatu hari Singawinata mendapatkan petunjuk dari guru dan wangsit dari Yang Maha Kuasa agar melakukan perjalanan kearah timur menuju ke sebuah alun-alun kerajaan dan melakukan tapa pepe dengan dututup kain mori warna putih untuk mendapatkan kanugrahan dan menjadi orang yang berguna.Maka Singawinata mengikuti petunjuk yang diterimanya, setelah mempersiapkan segala sesuatunya berangkatlah Singawinata  melakukan perjalanan kearah timur dengan berjalan kaki, selama menempuh perjalanan berhari-hari  akhirnya sampailah di kota raja kerajaan Mataram Islam Kotagede, kemudian ditengah alun-alun kerajaan Mataram Kotagede di sekitar pohon beringin kembar alun-alun, Singawinata duduk bersila dengan berkerudung kain mori putih, berhari-hari Singawinata melakukan tapa ngrame di alun-alun kerajaan Mataram. Pada saat  itu yang bertahta di Kerajaan Mataram adalah raja kedua yaitu Susuhunan Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati atau Panembahan Sedo Krapyak yang memerintah tahun 1601 s/d 1613. Pada satu hari Sinuwun Prabu mios di Siti Hinggil Kraton melihat kearah alun-alun ada seseorang yang berkudung kain putih, maka Sinuwun Prabu memerintahkan pengawal atau ajudanya agar menanyakan kepada orang tersebut (Singawinata) tentang maksud dan tujuannya dan mem perkenankan Singawinata untuk menghadap Sinuwun Prabu, maka dihampirinya Singawinata oleh prajurit tersebut kemudian diajak untuk menghadap siinuwun parbu di Keraton  dan dengan dikawal prajurit Singawinata menghadap Sinuwun Prabu Hanyokrowati.

 Singkat kata Singawinata ditanya oleh Sinuwun prabu maksud dan tujuanya, kemudian Singawinata menjawab bahwa dirinya bermaksud ingin mengabdi kepada Sinuwun Prabu sabagai abdi dalem di Kraton Mataram, karena kepolosan dari Singawinata maka Sinuwun Prabu menerimanya sebagai abdi dalem di Keraton Mataram. Singawinata akhirnya benar-benar diangkat menjadi seorang abdi dalem mengabdikan dirinya kepada kerajaan. Setelah beberapa waktu lamanya Sinuwun Panembahan Hanyokrowati sedang gundah dikarenakan salah satu  istri permaisuri atau garwa padminya menderita sakit dibagian payudara, sudah dilakukan upaya penyembuhan dengan mendatangkan ahli-ahli pengobatan dari pelosok negari namun sakitnya tidak kunjung sembuh dan bertambah parah, Sinuwun Prabu merasa prihatin dengan keadaan itu.

4

Pada kesempatan Sinuwun Prabu mendapatkan petunjuk bahwa yang dapat menyembuhkan permaisurinya adalah abdi dalem kraton sendiri, maka pada malam hari Sinuwun Prabu berjalan mengelilingi Keraton, di tengah-tengah para abdi dalem yang sedang terlelap tidur semua melihat ada cahaya yang muncul dari salah satu abdi dalem, maka Sinuwun Prabu mendekat kearah abdi dalem tersebut (Singawinata) yang sedang terlelap tidur dan menyobek poncot iketnya sebagai tanda. Tanpa diketahui oleh siapapun. Pada keesokan harinya dipanggilah para abdi dalem untuk menghadap sinuwun prabu, dari sekian banyak abdi dalem maka ditunjuknya salah satu abdi dalem yang kain ikat kepalanya (iket) sobek yaitu Singawinata dan diperkenankan menghadap sendiri untuk menerima dawuh, dawuh dalem Sinuwun Prabu kepada Singawinata bahwa salah satu garwa padminya mengalami sakit payudara diminta kepada Singawinata palilahnya untuk menyembuhkan sakit tersebut. Singawinata tidak dapat menolak perintah Sinuwun Prabu, akhirnya dengan penuh kepercayaan diri Singawinata menyanggupi perintah tersebut dan memohon waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan memohon untuk dapatnya dipersiapkan perlengkapan berupa Wuluh Gading (pipa gading) dan Cantuk Emas.

Setelah tiba waktunya dilakukanlah pengobatan terhadap Gusti ratu  garwa padmi Sinuwun Prabu oleh Singawinata, maka dengan menggunakan perlengkapan yang telah dipersiapkan dan racikan obat  ramuanya,  Singawinata melakukan operasi pengobatan dimana Wuluh Gading ditempelkan pada bagian yang sakit pada Gusti ratu untuk mengalirkan cairan kotoran darah dan nanah kemudian kotoran tersebut dialirkan ke wadah Cantuk Emas, setelah berkali-kali  kotoran dapat keluar dan dibuang melalui Cantuk Emas maka selesailah proses operasi pengobatan. Setelah proses pengobatan selesai dan Gusti ratu benar-benar telah sembuh dari sakitnya maka pada saat pisowanan Sinuwun Prabu memanggil Singawinata untuk menghadap  pada pisowanan tersebut, pada saat itu Siinuwun Panembahan Hanyokrowati paring dawuh dalem kepada Singawinata :

Singawinata…., bangêt panarimaningsun sira bisa maluyakake gêrahe kangjêng ratu. Saiki sira ingsun lilani mulih, dadia dêmang ana ing desanira, sarta desanira salinana aran Canthukkuning. Sabên taun sira kudu sowan mênyang kêraton. Dene canthuk lan wuluh gadhing iki sun paringake marang sira minăngka wasiyat. Kajaba iku, layang iki aturna marang bupati Banyumas, supaya sumurupa. ( Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk )

5

 

Sinuwun prabu berterima kasih dan mengapreiasi kepada Singawinata yang telah dapat menyembuhkan sakitnya Gusti Ratu dan Singawinata diperintahkan dan diperkenankan untuk pulang kekampung halaman dan diangkat menjadi seorang  Demang didaerah asalnya dan Sinuwun Panembahan Hanyokrowati sendiri yang memberikan nama Kademangan dengan nama Cantukkuning dengan wilayah perdikan  atau Kademangan perdikan dibawah langsung kraton Mataram dan berkewajiban untuk menghadap atau sowan ke keraton Mataram Kotagede setiap tahunnya, kemudian Canthuk kuning dan Wuluh gading diberikan kepada Singawinata sebagai wasiat atau pusaka Kademangan,

Pada pisowanan tersebut secara resmi Sinuwun Prabu Hanyokrowati mengangkat dan melantik Singawinata sebagai Demang di Kademangan Canthukkuning (Canduk saat ini) . Layang kekancingan atau Surat Keputusan pengangkatan sebagai Demang Canthukkuning diberikan langsung oleh Susuhunan Prabu Panembahan Hanyokrowati kepada Demang Ngabehi Singawinata, disamping itu disertai pula surat untuk diserahkan kepada Bupati Banyumas saat itu (R. Ngabehi Merta Sura II (Ngabehi Kalidethuk) sebagai tembusan dan untuk diketahui.

Dengan dikawal beberapa prajurit keraton Mataram, Demang Singawinata sampailah di Kadipaten Banyumas untuk menyerahkan surat dari Sinuwun Prabu dan mendapatkan sambutan sangat baik dari Bupati Banyumas, dengan bantuan dari Bupati Banyumas R. Ngabehi Merta Sura II maka dibuka dan berdiri Kademangan Canthukkuning yang terletak di arah barat Kadipaten Banyumas disebuah perkampungan atau dusun yang kini dikenal dengan nama Banyumasan.

Selama menjabat sebagai demang, Singawinata banyak membuka hutan menjadi sawah dan tegalan sehingga banyak orang pendatang yang membuat rumah dan usaha yang berangsur-angsur wilayahnya semakin ramai dan maju

Setelah cukup panjang Demang Singawinata berkuasa di Canthukkuning dalam usia lanjut (sepuh) Demang Singawinata wafat dan dimakamkan di Dusun Cihaur sedangkan Pusaka Canthuk kuning ikut dikubur bersama jasad Ki Demang Singawinata.

Sepeninggalan Ki Demang Singawinata maka ditetapkan dan diangkat putranya yang bernama Wangsawinata sebagai Demang yang kemudian lebih dikenal  Demang Canthuk Kemantren.

 

6

 

  1. Demang Wangsawinata I ( Demang Canthuk Kemantren).

 

Wangsawinata adalah putra sulung Demang Ngabehi Singawinata yang diangkat atau ditetapkan sebagai Demang Cantukkuning  sepeninggalan ayahandanya, Wangsawinata diangkat sebagai Demang bersamaan waktunya penobatan Susuhunan Prabu Amangkurat Agung atau Amangkurat I pada tahun 1645.:

 “Sapêjahipun Dêmang Canthukkuning, ingkang katêtêpakên anggêntosi pangkatipun, anakipun pambajêng nama Wăngsawinata (katêlah Dêmang Canthuk Kêmantrèn). Rêjaning dhusun sangsaya wêwah. Wêkdal punika nyarêngi jumênêngipun Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Mangkurat Agung (Mangkurat Têgalarum).”       ( Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk )

Dibawah Demang Wangsawinata I Kademangan Canthukkuning semakin maju dan tersehor  dan pengaruhnya semakin luas meliputi Desa-desa yang ada di wilayah sekitar Kademangan  sehingga Kademangan Canthukkuning lebih dikenal dengan nama Canthuk Kemantren, Kemantren atau penewon adalah istilah kewilayahan setingkat Kecamatan atau Kawedanan. Pengaruh wilayah Kademangan Canthuk Kemantren semakin luas meliputi beberapa desa yang ada disekitar wilayah Kademangan karena kedekatannya Ki Demang dengan Sinuwun Prabu Amangkurat Agung dan masyarakat.

Dikisahkan pada saat terjadi pemberontakan Trunajaya terhadap Susuhunan Amangkurat  Agung pada tahun 1671 mengakibatkan Sinuwun Prabu keluar dari istana dan lari menuju arah Banyumas, Demang Wangsawinata menjemput didaerah Ajibarang, waktu atu Amangkurat I dalam keadaan sakit dan kemudian wafat di daerah sekitar Ajibarang, Demang Wangsawinata ikut mengurus jenazah Susuhunan Amangkurat  Agung dan ikut serta mengantar jenazah ke tempat peristirahatannya yang terakhir di Tegalarum. :

 “Kacariyos nalika lolosipun Kangjêng Sunan Mangkurat wau dumugi ing Ajibarang, Dêmang Canthuk Kêmantrèn amêthukakên. Sarêng sang prabu seda wontên salèr Ajibarang (samangke dhusun Siraman) piyambakipun andhèrèkakên layon ngantos dumugi ing pasarean Têgalarum.” ( Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk )

 

7

 

Setelah pemakaman Sinuwun Amangkurat Agung, putra mahkota sinuwun prabu suwargi  yaitu Pangeran Adipati Anom atau Raden Mas Rahmat dengan Bupati Tegal saat itu bersepakat untuk mengambil alih kembali Kearaton Mataram Pleret dari pemberontak maka Demang Singawinata dan punggawa parajuritnya ikut serta berangkat menuju keraton Mataram bersama dengan rombongan Adipati Anom, Bupati Tegal dan sisa-sisa prajurit Mataram.

Akhirnya keraton Mataram Pleret dapat direbut kembali dan Adipati Anom Raden Mas Rahmat  diangkat sebagai Raja Mataram bergelar Susuhunan Amangkurat II atau Amangkurat Amral yang memerintah pada tahun 1677 s/d 1703 dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Kartasura, setelah itu Demang Wangsawinata kembali ke Kademangan Canthuk Kemantren.

Nalika Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Anom sarêmbag kalihan Bupati Têgal nêdya angrêbat karatonipun ingkang rama, dêmang wau ugi andhèrèk akanthi wadyabala ngantos dumugi ing Mataram. Sarêng Kangjêng Pangeran sampun jumênêng nata, Dêmang Canthuk Kêmantrèn sangsaya cinakêt ing ratu. Anggènipun dados dêmang katog ngantos sêpuh sangêt. Sapêjahipun Dêmang Canthuk Kêmantrèn, ingkang gumantos anakipun pambajêng, nama nunggaksêmi.” ( Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk )

Kedekatan Demang Wangsawinata I atau Demang Canthuk Kemantren dengan Susuhunan Mataram sangat baik hingga berusia lanjut atau sepuh, dan setelah wafat kedudukan Demang Canthuk Kemantren digantikan oleh putranya yaitu Demang Wangsawinata II atau Demang Canthuk Kemantren II.

  1. Demang Wangsawinata II atau Demang Canthuk Kemantren II.

 

Setelah Demang Wangsawinata I atau Demang Canthuk Kemantren I wafat maka diangkatlah putranya yang namanya nunggaksemi dan lebih dikenal dengan nama Demang Wangsawinata II atau Demang Canthuk Kemantren II. Demang Wangsawinata II memerintah di Kademangan Canthuk Kemantren sejak Kerajaan Mataram Kartasura diperintah oleh Susuhunan Amangkurat III atau Sinuwun Amangkurat Emas pada tahun 1703 s/d 1705 sampai masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono II. Tidak banyak dikisahkan dalam babad pada masa Kademangan Cantuk Kemantren di pimpin oleh Demang Wangsawinata II, bahwa pada masa pemerintahan  Demang Canthuk Kemantren II Kademangan semakin maju dan wilayahnya semakin berkembang luas.

8

Namun demikian Demang Wangsawinata II tidak mempunyai putra atau anak laki-laki maka putri Ki Demang dinikahkan dengan seseorang pendatang dari pusat kerajaan Mataram Kartasura bernama Raden Candrajaya, yang kemudian setelah Demang Wangsawinata II wafat dalam usia lanjut tahta Kademangan di lengserkan kepada menantunya R. Candrajaya dan kemudian bergelar Demang Raden Candrapraya

 

  1. Demang R. Candrapraya Candrajaya atau Demang Agung R. Candrapraya.

 

Setelah Demang Wangsawinata II atau Demang Canthuk Kemantren II wafat maka diangkatlah menantunya bernama R. Candrajaya sebagai Demang Canthuk Kemantren yang kemudian bergelar Demang R. Candrapraya atau Demang Gedhe/Agung Candrapraya, pada masa Demang Candrapraya kedemangan lebih dikenal  dengan Kademangan Canthuk Emas atau Candhuk. Demang R. Candrapraya diangkat menjadi Demang kurang lebih tahun 1745 pada waktu itu Kerajaan Mataram Kartasura dan Surakarta diperintah oleh Susuhunan Paku Buwono II yang memerintah tahun 17Z6 s/d 1749, Demang Candrapraya begitu dekat hubungannya dengan Sinuwun Paku Buwono II karena sebelum menjadi raja pernah berguru bersama bersama para putra dalem Sinuwun Amangkurat IV atau Amangkurat Jawi di Perguruan atau padepokan Pajang.

 Siapakah R. Candrajaya atau R. Candraparaya dan dari manakah asal-usulnya.

 Menurut silsilah dalam naskah sempalan babad demang Canduk, R. Candrajaya adalah putra dari Tumenggung R. Adinegara Candradiningrat II merupakan Bupati Batang atau Rangga Kaliwungu :

  “ing Batang tinanêman | sira Răngga Kaliwungu | ingkang pilênggah ing Batang || ingalih namanirèki | Tumênggung Adinagara | Kaliwungu kang ginawe | sutane răngga kang tuwa” ( Babad Giyanti Yosodiporo I),

 apabila diurut keatas adalah keturunan atau trah Pajang pada level 9 (Sembilan) sampai dengan Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir . Demang R. Candrajaya Candrapraya adalah putra dari R. Tumenggung  Adinegara Candradiningrat II bupati Batang dan atau Rangga Kaliwungu bin R. Tumenggung Candradiningrat I di Batang bin R. Hariyo Condronegoro di Batang bin R. Tumenggung Sumonegoro di Batang bin R. Ayu Hadipati Sanjoyo atau Hariyo Tambakboyo bin Pangeran Hariyo Notonegoro di Batang bin Pangeran Hariyo Jonggosumeru atau Pangeran Demang Wetan bin Sultan Hadiwijaya atau Jokotingkir Sultan Pajang dst.

9

Petikan ingkang Asal-silah buku pengetan Sejarah Dalem Kanjeng Sinuwun ing nagari Surakarta, ingkang nindakaken Bendoro Raden Mas Yogokusuma ing kampung tamtomo buku pengetan kasimpen ing Kapatihan Dalem projo Surakarta Hadiningrat. Urut asal-silah saking Kanjeng Sultan Hadiwijaya ( R. Jotingkir ) ing Pajang :

  1. Pangeran Hariyo Jonggosumeru kasebat nama Pangeran Demang Wetan peputra
  2. Pangeran Hariyo Notonagoro ing Batang peputra
  3. Ayu Hadipati Sanjoyo menikah dengan Pangeran Tambakboyo peputra
  4. Tumenggung Sumonegoro ing Batang peputra
  5. Hariyo Condronegoro ing Batang peputra
  6. Tumenggung Candradiningrat I ing batang peputra
  7. Tumenggung Candradiningrat II ing Batang peputra
  8. Demang Condroproyo ing Candhuk peputra
  9. Kyai R. Demang Condrojoyo I ing Candhuk peputra
  10. Kyai R. Demang Condrojoyo II ing Candhuk, Wedono Jeruklegi kapendet mantu R. Ngabehi Surowahono perdikan ing Ringin pitu.

Urut asal-silah saking Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Mangkurat Jawi ing Kartosuro peputra :

  1. Kanjeng Pangeran Ronggo gantos name Purboyo gantos name malih Condronegoro peputra
  2. Tumenggung Palangnegoro peputra
  3. Panji Angun-angun I lajeng name Cinde Ameh peputra
  4. Ngabehi Surowahono ing perdikan Ringin pitu peputra
  5. Nganten Condrojoyo II dados garwone R. Condrojoyo II Wedono Jeruklegi.

Petikan iki Asale saka : Tuwan J. Kats kaliyan Gadrun jilid angka G, kaecap x Z ing semarang tahun 19Z5. ( Salinan naskah Silsilah Demang Canduk ).

Dalam babad tanah jawi dan buku Perang cina runtuhnya Negara jawa karangan  Willem Remmelink, bahwa ayah R. Candrajaya, R. Adinagara. Candradiningrat II diangkat menjadi Bupati Batang pada tahun 1719 kemudian dinikahkan dengan putri Susuhunan Amangkurat Jawi bernama R. Ayu Sukiyah Aminah, bergelar R. Tumenggung Adinegara Candradiningrat II tidak begitu lama menjabat Bupati Batang kemudian diturunkan dari jabatannya oleh Patih Danurejo dan dikembalikan menjadi Rangga Kaliwungu bergelar Suradimenggala IV, dan pada tahun 1727 bercerai dengan R.A. Sukiyah Aminah. Oleh ayahnya R. Tumenggung Adinegara Candradiningrat II, R. Candrajaya di sekolahkan atau berguru atau magang di Padepokan atau perguruan Kesatrian Pajang bersama dengan putra-putra dalem Kasunanan Kartasura.

10

Dikisahkah bahwa pada tahun 1742 terjadi pemberontakan Cina atau geger pecina di Keraton Mataram Kartasura yang dipimpin oleh R.M. Garendi cucu dari Amangkurat III atau Amangkurat Emas, yang mengkibatkan terjadinya kerusuhan di Kartasura dan Keraton Kartasura dapat dikuasai oleh pemberontak, Susuhunan Paku Buwono II beserta keluarga dan kerabat keraton melarikan diri dari istana. Para kerabat keraton termasuk antara lain Pangeran Mangkubumi atau Raden. Mas Sujono, Raden Mas Said dan pangeran-pangeran lainnya keluar dari istana Kartasura untuk menyelamatkan diri :

 “nalika dahurunipun praja, kathah para luhur ingkang sami lolos, inggih punika: Kangjêng Gusti Pangeran Mangkubumi, Radèn Mas Said, lan pangeran sanès-sanèsipun sami jumênêng kraman. Makatên ugi para bupati, tumênggung tuwin para santana, sami bingung pangidhêpipun, sawênèh wontên ingkang kesah sapurug-purug, botên kantênan ingkang jinujug” ( Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk )

Di Padepokan atau perguruan Pajang tempat dimana para putra dalem Keraton Kartasura berguru juga tidak luput dari serangan pemberontak, sehingga seorang pemuda trah Pajang dan Mataram bernama Raden Candrajaya menyelamatkan diri dari pemberontak dan berlari kearah barat tanpa tujuan yang pasti sampai ke wilayah Kadipaten Banyumas  bagian barat dan berhenti di Kademangan Canthukkuning atau Canthuk Kemantren, kemudian Raden Candrajaya suwita atau meminta perlindungan kepada Ki Demang Wangsawinata II atau Demang Canthuk Kemantren melihat perilaku, tindak tanduk dan unggah ungguhnya Ki Demang menerima Raden Candrajaya untuk tinggal di Kademangan, namun Raden Candrajaya tidak mau  mengaku dari mana asalnya :

Ing Pajang wontên satunggiling putra priyantun, nama Radèn Căndrajaya, saking ajrihipun amargi dhusun-dhusun rinisak dening kraman, lajêng nekad lolos mangilèn purugipun. Lampahipun kêlunta-lunta tansah nandhang kasrakat. Lami-lami dumugi bawah Banyumas sisih kilèn. Lajêng suwita dhatêng Kyai Dêmang Canthuk Kêmantrèn. Ing sakawit piyambakipun botên purun ngakên aslinipun”. ( Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk )

Setelah beberapa waktu lamanya Ki Demang Wangsawinata II memperhatikan merasa tidak percaya atau tidak yakin kalau R. Candrajaya adalah keturunan orang biasa, dilihat dari tindak tanduk, halusnya budi pekerti dan kemampuannya dalam membantu pekerjaan Ki Demang.

11

maka kemudian ditanyalah tentang hal yang sebenarnya, akhirnya Ia mengaku bernama Raden Candrajaya dan mengaku siapa dirinya adalah kerabat atau trah Pajang dan Mataram, Ki Demang merasa senang dan semakin percaya, sehingga Raden Candrajaya diambil sebagai menantu oleh Ki Demang Wangsawinata II :

 “Sarêng lami-lami kyai dêmang botên pitados yèn turuning alit, amargi kêtitik saking polatan tuwin alusing bêbudèn, sarta kathah kasagêdanipun, punapa malih sagêd ambantu padamêlanipun kyai dêmang. Mila lajêng dipun takèni mênggah ing salêrêsipun. Sarêng Radèn Căndrajaya pasaja yèn taksih IItêrahing aluhur, kyai dêmang sangsaya wêwah sih katrêsnanipun, satêmah lajêng kapêndhêt mantu.” ( Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk )

Karena Ki Demang sudah sepuh maka Raden Candrajaya dipercaya untuk membantu tata kelola Kademangan, dan dalam usia yang sangat lanjut Ki Demang Wangsawinata II atau Demang Canthuk Kemantren II wafat, karena tidak mempunyai anak Laki-laki maka setelah itu diangkatlah menantunya Raden Candrajaya sebagai Demang Canthuk Kemantren bergelar Raden Candrapraya kurang lebih tahun 1745 dan Kademangan lebih dikenal dengan nama Canthuk Emas :

 “Sapêjahipun Dêmang Kêmantrèn II, sarèhning botên gadhah anak jalêr, ingkang anggêntosi kadêmanganipun inggih Radèn Căndrajaya wau, sarta santun nama: Dêmang Căndrapraya”    ( Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk )

Belum begitu lama Raden Candrapraya menjadi Demang Canthuk Emas,  di Kasunanan Mataram Surakarta terjadi pemberontakan atau  perlawanan terhadap kompeni belanda yang mendominasi pengaruh di kerajaan Mataram Surakarta  yang dipimpin oleh Raden Mas Sujana atau Pangeran Mangkubumi saudara kandung Susuhunan Paku Buwono II pada tahun 1749, menurut Babad Giyanti karangan R. Ngabehi Yosodipuro I dikisahkan bahwa Keraton Mataram mengundang para pemimpin atau puggawa kadipaten dan kademangan di wilayah Mataram untuk membantu mengatasi perlawanan Pangeran Mangkubumi yang waktu itu sudah mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Susuhunan Kabanaran. Demang Canthuk Emas atau Demang Candrapraya Candrajaya juga ikut dipanggil kekeraton untuk memperkuat pasukan, maka dengan menyiapkan prajurit dari Kademangan Canthuk berangkatlah Demang Raden Candrapraya Candrajaya ke kekeraton Mataram Surakarta. 

12

Kemudian Demang Candrajaya didaulat dan dilantik menjadi komandan pasukan atau cucuk Prajurit  bersama dengan Demang Imajaya, Demang Imayuda dan Demang Candrayuda masing-masing membawahi 300 personil pasukan kompeni belanda, Ki Demang harus menerima dan siap dengan perintah dari Susuhunan Paku Buwono III walaupun harus berperang dengan kerabat prajurit Pangeran Mangkubumi :

 

  1. Walandine sadaya dêmang sakawan | Dêmang Căndrajayèki | Dêmang Căndrayuda | lan Dêmang Imayuda | lan Dêmang Imajayèki | amangah-mangah | bajo sangkêlat abrib[3] || 42. acêcênthung baludru irêng rinenda | bêbêd saboja sami | padone kèncèngan | bênting cindhe jo ridan | anyuriga cara Bali | ijo sangkêlat | renda pinanji-panji ||43.angêdhangkrang dêmang Walănda sakawan | sami nindhihi baris | bature nyadasa | gawa tumbak [tumbak] ampilan | miwah pêdhang lawan karbin | sarewa-rewa | sarewaning bupati ||44. wau wadyaning mungsuh sami kumêrap | kumreyap mangsah jurit | têngara sauran | gumuruh awor surak | arame bêdhil-binêdhil | lor kidul wetan | kadya rêbah ing wukir ||45. baris agêng tan kandhêg dènnya lumampah | pan sampun dèn ajêngi | pinêngkok kang ngarsa | kèndêl katanggor jagang | wong Sumênêp mangsah sami | narik kalewang | nêdya angobrak-abrik || ( Babad Giyanti R. Ngbh Yosodipuro I )

Dikisahkan pula dalam Babad Giyanti bahwa situasi peperangan yang semakin panas, perlawanan dari Pangeran Mangkubumi atau Sunan Kabanaran mengakibatkan terdesaknya pasukan kompeni belanda dan keraton Surakarta dibawah pimpinan Gubernur Jendral Mayor Henderop, disamping itu blokade suplai logistik yang dilakukan Pangeran Mangkubumi mengakibatkan pasukan kompeni belanda mengalami  kekurangan bekal . Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Demang Raden Candrapraya Candrajaya untuk memilih berpihak kepada Pangeran Mangkubumi,  karena kedekatannya Ki Demang  dengan Pangeran Mangkubumi sejak lama,  maka Demang R. Candrapraya mengajak temannya Demang Imajaya dan pasukannya untuk bersama bergabung dengan Pangeran Mangkubumi atau Susuhan Kabanaran . Pangeran Mangkubumi yang sudah mengenal dan mengetahui kemampuan R. Candrajaya, dengan senang hati Pangeran Mangkubumi atau Sunan Kabanaran menerima bergabungnya R. Candrapraya, karena melihat  kemampuannya sebagai prajurit dan usianya yang masih muda. 

13

Kemudian Demang R. Candrapraya Candrajaya diangkat  oleh Pangeran Mangkubumi diberi kepercayaan pangkat dan jabatan sebagai Demang Gedhe atau Demang Agung ( Komandan pasukan setingkat batalion) yang meminpin pasukan 300 personil dengan persenjataan lengkap, begitu dipercayanya oleh Pangeran Mangkubumi maka pada pertepuran besar melawan Kompeni Belanda di Begelen Purworejo tepi sungai Bogowonto daerah Jenar, Ki Demang Candrajaya Candrapraya dengan pasukannya diberi tugas terdepan berhadapan langsung dengan pasukan  kompeni belanda. Tercatat menjadi bukti sejarah bahwa perang di Bogowonto Jenar  Begelen antara pasukan Pangeran Mangkubumi dengan kompeni belanda pada tahun 1751 menjadi puncak kemenangan Pangeran Mangkubumi dan terbunuhnya komendan pasukan kompeni Mayor De Clerck atau Mayor Kalerek.

“Barisane Mangkubumi | wong nêmpur bêras mung suwang | pêsthi olèh têlung tompo | wong akèh tan bisa mangan | Mangkubumi mungsuhnya | lawan malih adatipun | kang anglurug yèn kakèhan || 32. nulya sinambêr gêgêring | gêring esuk sore pêjah | gring sore mati esuke | nguculkên ngon-ingonira | bala tan katingalan | mênèk padha nyokot dhêngkul | gumriwis abêbarisan ||

  1. gumujêng para radpêni | măngsa iya mangkonoa | gorohmu [goroh..mu] bae Hondorop | Hondorop apucicilan | kula sampun waspada | inggih lair batinipun | kula kawruhi sadaya || 34. yèn mangkono ora kêni | lingnya pra radpênindia | Mangkubumi panggawene | rinêkutuk ing ayuda | ing prang rinoban mêngsah | ngupaya manèh kang patut | pikir aja tibèng rusak ||
  2. Hondorop umatur malih | mila Dêmang Căndrajaya | lan Dêmang Imajayane | lumayu satêngahing prang | tan bêtah kurang pangan | pêndhak dina aprang tumut | angêdhangkrang pinayungan || 36. sinabinan nyatus sami | dadi dêmang kapala prang | têlung atus rèrèhane | para radpêni têtanya | Imajayèku apa | kalawan Căndrajayèku | Sareyan Kumpêni Usar || 37. Sareyan Palêk satunggil | kalawan Sareyan Lukas | Sareyan Usar kalihe | lumajêng satêngahing prang | nyandêrakên turăngga | cêluk-cêluk aku têluk | marang Raja Kabanaran ||
  3. linajêngakên tumuli | katur mring Sunan Banaran | Mangkubumi pan ing mangke | kadhaton ing Kabanaran | Sareyan Usar nulya | padha sadina jinunjung | Dêmang Gêdhe Kapala prang ||

 

14

 

  1. nuli pêndhak enjing malih | mêtu prang dadi pangarsa | sarta salin busanane | awake dinèblêg êmas | brangangang pinayungan | ingkang angiring gumrudug | lah ta punika pratingkah || 40. wêwatêke Mangkubumi | para dêlèr kalih wêlas | agoyang kapala kabèh | iku abote sinăngga | Mangkubumi ing aprang | pracaya marang Hyang Agung | santosa kaya Walănda || 41. nora nganggo sănggarunggi | Walănda têluk sadina | banjur dadi dêmang gêdhe | pinarcaya ngadu ing prang | maring prajuritira | nora dadi pikir iku | markutuk ngêrobi ing prang || ( Babad Giyanti R. Ngbh Yosodipuro I )
  2. sinabinan nyatus sami | dadi dêmangkapala prang | têlung atusrèrèhane para radpêni têtanya | Imajayèku apa | kalawan Căndrajayèku | Sareyan Kumpêni Usar ||
  3. Sareyan Palêk satunggil | kalawan Sareyan Lukas | Sareyan Usar kalihe | lumajêng satêngahing prang | nyandêrakên turăngga | cêluk-cêluk aku têluk | marang Raja Kabanaran ||
  4. linajêngakên tumuli | katur mring Sunan Banaran | Mangkubumi pan ing mangke | kadhaton ing Kabanaran | Sareyan Usar nulya | padha sadina jinunjung | Dêmang Gêdhe Kapala prang ||
  5. nuli pêndhak enjing malih | mêtu prang dadi pangarsa | sarta salin busanane | awake dinèblêg êmas | brangangang pinayungan | ingkang angiring gumrudug | lah ta punika pratingkah ||( Babad Giyanti R. Ngbh Yosodipuro I )

Ki Demang Candrajaya tetap menjabat sebagai Demang Gede/Agung dalam peperangan hingga dilakukan Perjanjijian Giyanti tahun 1755 dan terjadi kesepakan pembagian wilayah kerajaan.

Dimana Pangeran Mangkubumi mendapat wilayah di Yogyakarta sebagai awal berdirinya Kesultanan Ngayogyokarta Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan di Ngyogyakarta Hadiningrat bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Satunggal ing Ngayogyakarta Hadiningrat dan Susuhunan Pakubowono III tetap bertahta di Kasunanan Surakarta.

Setelah perang berakhir Demang Candrapraya Candrajaya ikut mengawal dan membantu kepindahan Pangeran Mangkubumi beserta keluarga kerabatnya menunuju Yogyakrta untuk membangun keraton, setelah itu Ki Demang memilih kembali ke Kademangan Canthuk Emas.

15

 

Begitu banyak jasa Demang R. Candrapraya Candrajaya kepada  Kasultanan Ngayugyakarta Hadiningrat sehingga konon menurut cerita Demang R. Candrapraya  Candrajaya diangkat sebagai Demang di satu wilayah dan mendapatkan pelungguh tanah seluas 30 cacah  oleh Pangeran Mangkubumi  atau Sri Sultan Hamengkubuwono  I  akan tetapi penulis tidak dapat menelusuri datanya dimana wilayah tersebut. Oleh karenanya Ki Demang lebih dikenal dengan gelar Raden Demang Agung Candrapraya dan kademangan dikenal dengan nama Kademangan Agung Canthuk Emas atau Candhuk. Sesuai dengan pembagian wilayah Mataram pada Perjanjian Giyanti, maka Kademangan Canthuk tetap menjadi bagian dari negeri Surakarta Hadiningrat  sebagai wilayah perdikan (wilayah otonomi khusus) langsung dibawah Kasunanan Surakarta Hadiningrat Susuhunan Paku Buwono III, Demang R. Candrapraya terus membangun kemajuan Kademangan Canthuk. Karena dengan istri pertamanya putri dari Demang Wangsawinata II tidak dikarunia anak kemudian Demang R. Candrapraya menikah lagi dengan putrinya Adipati Cisagu, Penyarang, Sidareja bernama Ayu Bening atau Dewi Sekar Wulan trah Pajajaran dikaruniai dua putra : R. Prayamanggala ( Demang Candrajaya I ) dan  R. Singamanggala. Kemudian Ki Demang R. Candrapraya memindahkan pusat Kademangan kearah utara di bawah lembah gunung batur (sekarang ini Desa Canduk) dan membangun pendopo atau rumah joglo yang sangat megah dari kayu jati yang dirancang oleh  Demang Nurdaiman dari Kademangan Gumelem. Bahan bangunan kayu jati diambil dari Sindangbarang Karangpucung yang diameter kayunya sangat besar cukup untuk duduk duapuluh lima orang, bangunan pendopo kademangan dan tempat tinggal Ki Demang tersebut berdiri pada tahun 1762.

 “Kacariyos balunganing pandhapi wau kajêng jatos sauwit ing wana Sindhangbarang bawah ondêr dhistrik Karang Pucung, ingkang bulêding pokokipun cêkap kangge linggihan tiyang salawe”.                ( Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk )

Bangunan pendopo dengan umpak susun lima dengan ukiran dan terdapat sengkalan sêmbah rasa pandhita tunggal (1762) angka 1762 tahun Masehi dan 1700 tahun Jawa Banyumas dengan angka dan tulisan jawa sebagai tanda berdirinya pendopo, sekarang ini bisa dilihat  bangunan pendopo Demang R. Candrapraya masih berdiri dengan megah sesuai aslinya di desa Gumilir Cilacap.

16

“Wêwangunaning pandhapi memba pandhapining aluhur, midhanganipun sungsun gangsal, ingukir-ukir pindha sirahing garudha. Adêging pandhapi wau sinêngkalan taun Walandi:   sêmbah rasa pandhita tunggal (1762), run-tumurun dumugi samangke taksih sae”. ( Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk )

Selain itu Demang R. Candrapraya juga membangun masjid di depan pendopo Kademangan, masjid tersebut sekarang masih ada di Desa Canduk, namun masjid tersebut  telah banyak mengalami perubahan dan renofasi. pada masa itu wilayah Kademangan semakin maju, di bidang keagamaan semakin ramainya kelompok pengajian thorikot   dan berdiri tempat pengajian atau pondok pesantren untuk menimba ilmu dengan mendatangkan guru mursyid atau kyai dari Pajang Surakarta.

Di bidang seni budaya berkembang kesenian seperti trebang slawatan, kesenian rodad, karawitan gamelan dan wayang kulit, selain itu dibidang pertanian juga semakin berkembang.

Demang Agung R. Candrapraya mempunyai anak tujuh,  istri pertamanya putri dari Demang Wangsawinata II tidak dikaruniai anak, istri yang kedua putri dari Adipati Penyarang bernama  Ayu Bening atau Dewi Sekar Wulan trah Pajajaran dikaruniai anak dua :  R. Prayamanggala ( Demang R. Candrajaya I) dan R. Singamanggala  kemudian istri yang ketiga konon menurut cerita para pinisepuh adalah putri dari Bupati Banyumas Yudanegara III, di karuniai anak lima : R. Candradipa, R. Nganten Nyai Ageng, R. Nganten Nyai Wiradrana, R. Jayanudin, R. Nganten Nyai Wirawijaya

Putra putri Demang R. Candrapraya semuanya ada 7  antara lain :

  1. Prayamanggala ( Demang R. Candrajaya I).
  2. Singamanggala
  3. Candradipa
  4. Nganten Nyai Ageng
  5. Nganten Nyai Wiradrana
  6. Jayanudin ( Penghulu Kademangan Canthuk)
  7. Kyai R. Wirawijaya.

Setelah berusia lanjut Ki Demang R. Candrapraya wafat sewaktu menghadapkan dan mengusulkan putranya menjadi Demang Canthuk beliau wafat waktu berada di tempat adiknya yang menjadi Demang di Lumajang, kemudian putranya yang nomor satu R. Prayamanggala diangkat menjadi Demang di Kademangan Canthuk bergelar

 

17

 

  1. Candrajaya I, putranya yang nomer dua R. Singamenggala menjadi menantu Demang Lumajang sadang putra yang nomer tiga R. Candradipa menjadi Demang di wilayah Penyarang.
  2. Demang Raden Candrajaya I

 

Putra pertama Demang Agung  R. Candrapraya bernama R. Prayamanggala dengan gelar Demang Raden Candrajaya I diangkat menjadi demang kurang lebih tahun 1803 saat itu yang memerintah di Kasunanan Surakarta adalah Sri Susuhunan Pakubuwono IV tahun 1788 – 1820Semasa kecilnya R. Prayamanggala adalah anak yang cerdas keras cenderung nakal dan berpenampilan biasa atau kurang menarik. Sehingga ayahnya tidak begitu suka terhadap perilakunya, ayahnya Demang R. Candrapraya cenderung memanjakan adiknya yang bernama R. Singamanggala yang berwajah tampan dan penurut, merasa tidak disukai ayahnya, R. Prayamanggala  sadar akan hal tersebut  maka Ia bertekad ingin membuktikan bahwa dirinya mampu kemudian pergi meninggalkan kademangan tanpa sepengetahuan orang tua untuk mencari ilmu dan pengalaman, pergi kearah selatan.

Botên antawis lami Dêmang Căndrapraya kalihan semah nèm sagêd patutan kalih jalêr sadaya. Ingkang nomêr satunggal Prayamanggala, diwasanipun nama: Căndrajaya. Ingkang nomêr kalih warninipun bagus, diwasanipun nama: Singamênggala. Kyai dêmang wau panganggêpipun dhatêng anak pilih sih. Căndrajaya botên dipun trêsnani,. Dene Singamênggala dipun trêsnani sangêt, tansah inguja pikajênganipun, malah ginadhang-gadhang anggêntosi pangkatipun

( Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk )

Dari satu tempat ketempat yang lain berguru kepada orang pintar, kemudian melanjutkan perjalanannya untuk melakukan laku tirakat sampailah ke disebuah sungai reroban yang bermuara ke Laut Selatan (segara anakan cilacap) daerah Jeruklegi Cilacap, selanjutnya Ia membuat rakit (getek) dari bambu dan menaiki rakit tersebut menyusuri arus sungai hingga sampailah ke muara sungai, kemudian rakitnya terseret arus ombak laut sehingga terobang-ambing di laut lepas.

 

Sarêng dalunipun wanci sirêp tiyang Căndrajaya mêdal saking griya tanpa kanthi, lampahipun gêgancangan lumêbêt ing wana, ciptaning manahipun namung badhe ngupados margining pêjah.

 

 

18

 

Botên kacariyos lampah-lampahipun wontên ing wana, sarêng dumugi ing Jêruk Lêgi (bawah Cilacap) lajêng ngèli wontên ing lèpèn Rêroban sarana gèthèk, ngantos dumugi bêngawan Donan tansah kampul-kampul manut lampahing toya. Sigêg

 

Beberapa waktu lamanya berada diatas rakit tersebut sehingga tubuhnya kurus lemah lunglai karena tidak makan dan minum tapi tetap kuat dan semangat dalam menjalankan pertapaanya diatas rakit  bambu terombang-ambing gelombang laut sampai kearah timur pulau Nusakambangan.

 

Căndrajaya tansah kambang-kambang wontên satêngahing sagantên. Dilalah sarèhing taksih badhe pinanjangakên lêlampahanipun, botên sagêd pêjah, malah sangsaya gêntur tapanipun.

Dalam posisi berbaring diatas rakit R. Prayamanggala atau Candrajaya merasakan didatangi sosok laki-laki tua dan berkata kepadanya agar bangun dan segera pulang untuk untuk menggantikan kedudukan Bapaknya :

 

Sarêng dumugi sawetanipun pulo Nusakambangan, kadhatêngan kaki-kaki, mituturi makatên: Căndrajaya, sira tangia, aja bangêt anggonmu matèkake raga, enggal muliha, anggêntèni pangkate bapakmu”kemudian menjawab : bagaimana saya bisa pulang, sedang badan saya sudah rusak tak berdaya “ Kyai, kadospundi anggèn kula sagêd wangsul, tiyang badan kula sampun risak sangêt”, ( Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk )

Selanjutnya sosok lelaki tua tersebut meniup kepala R. Parayamanggala  Candrajaya tiga kali dan seketika itu badanya terasa menjadi kuat. Sosok lelaki tua tersebut menghilang, tidak lama kemudian datang ombak besar menyeret rakitnya sampai terdampar dipantai Karangbolong, kemudian mendarat kemudian pulang menuju Kademangan Canthuk :

Kaki-kaki lajêng nyêbul sirahipun Căndrajaya kaping tiga, sanalika badanipun kraos kiyat. Ingkang asung pitutur lajêng musna. Botên dangu wontên alun agêng dhatêng, gèthèk katut minggir. Kacariyos mêntasipun Căndrajaya wau wontên ing pasisir Karangbolong. Saking ngriku têrus wangsul dhatêng padununganipun”. ( Naskah Cariyos sempalan babad Demang Candhuk )

Karena lama tidak pulang-pulang oleh kedua orang tuanya ( Demang R. Candrapraya ) dianggap sudah hilang dan meninggal, dikarenakan usianya yang sudah lanjut maka Demang R. Candrapraya

19

 bermaksud untuk menghadapakan putranya yang kedua R. Singamenggala kepada Susuhunan Paku Buwono IV untuk dapat ditetapkan atau diangkat sebagai pengganti Demang Canthuk, namun Susuhunan Paku Buwono IV belum mau merestui atau menyetujui disarankan agar tetap menunggu datangnya anak yang pertama R. Prayamanggala Candrajaya. Sesampai di Kademangan ibunya merasa senang bahwa putranya yang pertama masih hidup, maka ibunya memerintahkan kepada R. Prayamanggala Candrajaya agar segera menyusul ayahnya ke keraton Surakarta yang sedang menghadap raja untuk mengusulkan  kedudukan Demang kepada R. Singamenggala. Setelah R. Prayamenggala Candrajaya datang akhirnya Susuhunan Paku Buwono IV merestui, menyetujui dan mengangkat R. Prayamenggala sebagai Demang di Kademangan Canthuk Emas atau Candhuk dengan gelar Demang Raden Candrajaya I. Kecakapan dan kemampuan Demang R. Candrajaya I tidak diragukan lagi dan semasa menjadi Demang Canthuk menjadikan Kademangan Canthuk semakin berkembang pesat, dapat menjalin hubungan dengan Kadipaten Banyumas dan daerah-daerah lainnya. Pada saat daerah Cilacap dipisahkan dengan Kadipaten Banyumas dibentuk menjadi Onder Afdeling tahun 1839 yang dipimpin oleh Raden Bei  Tjakradimeja sampai dengan ditingkatkan menjadi Regentschap (Kabupaten Cilacap) tahun 1856 yang diangkat menjadi bupati Tumenggung Tjakrawedana I, Demang R. Candrajaya I ikut membangun kota Cilacap dari mengurug atau meratakan rawa-rawa Donan sampai dengan mendirikan Pendopo Kabupaten Cilacap. Demang R. Candrajaya I mendapat  kepercayaan mencari dan mengolah kayu jati yang akan digunakan untuk membangun Pendopo Kabupaten Cilacap sedangkan Demang Nurdaiman dari Gumelem sebagai perancang (arsitek) bangunannya. Sedangkan kayu jati yang dipilih adalah kayu jati bungkus yang diambil dari daerah Penyarang Sidareja, karena  R. Candrajaya II adalah cucu dari penguasa Penyarang dari ibunya, dikisahkan bahwa pohon kayu jati yang ditebang diameternya sangat besar tunggaknya cukup untuk duduk 40 orang.

20

Kayu jati dibawa dari Penyarang sampai ke Cilacap selama berhari-hari dengan jalan di seret atau ditarik  dengan menggunakan ikat pinggang (sabuk) dari Demang R. Candrajaya I, ditarik dan didorong oleh beberapa orang melewati bukit, lembah dan sungai hingga sampai di Cilacap, menurut cerita lubang bekas tarikan kayu jati yang sangat besar  berubah menjadi sungai sehingga tempat yang dilewati untuk menarik kayu jati diabadikan menjadi Kalisabuk.

“ Metik saka buku Sejarah Cilacap muka 43, waktu iku kang ngasto Cilacap R. Tumenggung Tjakrawedana I tahun 1839 – 1873, wis kawentar yen R. Demang Condrojoyo I iku kayungan kekuatan fisik lan mental, mula ora luput tinuding lan pinilih golek kayu jati sauwit nanging kudu cukup kanggo mbangun Kabupaten, kayu jati bungkus saka alas Penyarang wis ditebang poking bedogol cukup kanggo lungguh wong cacahe 40,

akale Ki Demang  olehe nggawa kayu jati sing gedene ora mupakat, wong-wong sing pada mbantu didawuhi apike murih kayu jati kagawa, tut setitik didorong, minongko kanggo srana kagungane sabuk Ki Demang ditalikake ngarep kanggo nggered kayu, wong-wong sing ana ngarep nggered, sing ana buri nyurung, kanti gampang lan enteng kayu jati digered mudun Sidareja jur bablas nganti tekan wetan Cilacap aman slamet ora ana sambekala, tilas tabete geredan kayu suwe-suwe dadi kali, minangka kanggo pengetan kali dijenengi Kalisabuk.” ( Naskah cerita babad Demang canduk )

Sampai berdirinya pendopo dan bangunan lain matrialnya dibuat dari kayu jati tersebut untuk digunakan sebagai  pusat Kadipaten Cilacap, besar jasa dan partisipasinya Ki Demang R. Candrajaya I dalam membangun kota Kabupaten Cilacap, dalam usia lanjut beliau masih menyelesaikan tugasnya membangun pendopo kabupaten Cilacap .

Hingga menderita sakit dan wafat kemudian dimakamkan di pemakaman Kademangan Canduk yang sekarang dikenal dengan makam Demang di Desa Canduk.

Kemudian putranya yang yang nomor satu diangkat sebagai Demang Canduk bergelar Demang. R. Candrajaya II  dan kemudian oleh pemerintah kolonial belanda diangkat menjadi Wedana Jeruklegi Cilacap.

Demang R. Candrajaya I meninggalkan putra-putri :

  1. Candrajaya II ( Demang Canduk kemudian menjadi Wedana Jeruklegi Cilacap ) .

 

21

 

  1. Candramanggala atau Wangsayuda I
  2. Nayadikara
  3. Surawijaya
  4. Nganten Wiramanggala
  5. Sutadikara ( Penatus Wangon )
  6. Satru
  7. Demang Raden Candrajaya II.

 

Setelah demang candhuk  R. Candrajaya I wafat maka diangkatlah putranya yang nomer satu sebagai demang dengan gelar Demang Raden Candrajaya II kurang lebih tahun 1855.

 

  1. Candrajaya II menikah dengan putri dari R. Ngabehi Surowahono dari Perdikan Ringin Pitu beliau adalah masih keturunan atau trah Susuhunan Amangkurat IV atau Sinuwun Amangkurat Jawi :

 

“ Urut asal – silah saking : Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Mangkurat Jawi, ing Kartasura peputra : Kanjeng Pangeran Ronggo gantos nami Purboyo, gantos nami malih Condronegoro, peputra :

  1. R. Tumenggung Palang Negoro, peputra
  2. Panji Hangun-hangun Im lajeng nami Cinde Amoh peputra
  3. Ngabehi Surowahono, perdikan Ringin Pitu, peputra
  4. Nganten Condrojoyo II dados garwane R. Demang Condrojoyo II “

                ( Salinan Naskah Silsiah Demang canduk )

Demang R. Candrajaya II dikaruniai putra-putri :

 

  1. Candradiwirya ( Penatus Klapagading )
  2. Candrasentika ( Penatus Canduk )
  3. Nganten Candrawati ( Istri Wedana Batang )
  4. Nganten H. Candika ( Istri Penatus Besuki )
  5. Kramawijaya ( Penatus Kracak Ajibarang )
  6. Candradikrama
  7. Secadiwirya ( Carik Canduk )

 

  1. Candrajaya II sewaktu muda memperoleh pendidikan di sekolah kalangan priyayi sehingga pada masanya kecerdasan dan kepandaianya diperhitungkan, maka bersamaan dengan ditetapkannya wilayah Cilacap dari Onder Afdeling Cilacap tahun 1834 kemudian menjadi Regentschap (Kabupaten Cilacap) pada tahun 1856, kemudian kurang lebih tahun I858 pemerintah kolonial belanda mengangkat Demang R. Candrajaya II menjadi Wedana Jeruklegi sebagai bentuk penghargaan atas jasa ayahnya Demang R. Candrajaya I karena peran dan  partisipasinya dalam

 

22

 

 

membangun kota Cilacap dan membangun pendopo agung Kadipaten Cilacap dan kota Cilacap.

 

Disamping Itu pada masa Demang R. Candrajaya II, pemerintah kolonial belanda berkuasa penuh atas wilayah Banyumas Raya, sehingga hubungan Kademangan Canduk dengan Kasunanan Surakarta menjadi terisolasi , pada waktu itu pemerintah kolonial belanda merubah Kademangan menjadi Kapenatusan atau penewon dan dengan diangkatnya Demang R. Candrajaya II menjadi Wedana Jeruklegi, maka Kademangan Canduk berubah menjadi Kapenatusan Canduk, sebagai penatusnya adalah putranya nomer dua R. Candrasentika, sedangkan putranya yang nomer satu menjadi Penatus Klapagading, kemudian putranya yang nomer lima R. Kramawijaya menjadi Penatus Kracak Ajibarang.

 

  1. Candrajaya II wafat setelah pensiun dari Wedana Jeruklegi Cilacap dan dimakamkan di makam Demang Canduk di Desa Canduk

 

  1. Demang Penatus Raden Candrasentika.

 

Setelah Demang R. Candrajaya II diangkat menjadi Wedana Jeruklegi Cilacap maka diangkatlah putranya yang nomer dua R. Candrasentika menjadi Demang Penatus Canduk kurang lebih tahun 1858.

 

Pada saat itu pemerintah kolonial belanda berkuasa penuh atas wilayah Banyumas Raya, termasuk wilayah Kademangan Canduk yang semula adalah daerah perdikan dibawah langsung Kasunanan Surakarta Hadiningrat  menjadi terisolasi dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, kemudian kolonial belanda merubah Kademangan menjadi Kapenatusan atau penewon dan dengan diangkatnya Demang R. Candrajaya II menjadi Wedana Jeruklegi, maka Kademangan Canduk berubah menjadi Kapenatusan Canduk, sebagai penatus adalah putranya nomer dua yaitu R. Candrasentika. Surutnya pengaruh Kademangan Canduk menjadi semakin jelas karena adanya perjanjian kolonial belanda dengan Kasunanan Surakarta dan  hubungan kepenatusan Canduk dengan Kasunanan Surakarta menjadi terhambat dan terisolasi. Penatus R. Candrasentika tidak dikaruniai putra, sehingga mengangkat anak laki-laki yaitu R. Wirawijaya atau Wiradiwirya anak dari adiknya  R. Kramawijaya Penatus Kracak Ajibarang, yang kemudian sepeninggalan  penatus R. Candrasentika maka R. Wirawijaya diangkat menjadi Penatus Canduk, kakaknya R. Candrasentika bernama R. Candradiwirya diangkat menjadi Penatus Klapagading,

 

23

 

 Sedangkan R. Kramawijaya menjadi Penatus Kracak Ajibarang menikah dengan putri dari R. Yudakria trah keturunan Susuhunan Amangkurat Agung yang dimakamkan di Tegalarum, menurunkan :

 

  1. Wirawijaya atau R. Wiradiwirya ( Demang Penatus Canduk )
  2. Nganten Kalimah Candrawijaya ( Bau Wangon )
  3. Surawikarta ( mewarisi tahta Penatus Kracak )
  4. Kramadijaya ( Carik Klapagading )
  5. Nganten Saliyem Santadiwirya ( istri Carik Banteran )
  6. Nganten Sugi Wirawijaya ( istri Carik Canduk )
  7. Sungkowo Topgraf ( Jember )
  8. Nganten Suginah ( istri Wedana Jatilawang )
  9. Nganten Dasirah ( Mbah Sastro pukrul sarag sereg Purwokerto)
  10. Nganten Joyosudarno ( kolektur, serag sereg )
  11. Nganten Sumirah R. Sutopo ( Randegan )

 

  1. Demang Penatus Raden Wirawijaya atau Raden Wiradiwirya

 

Sepeninggalan Demang Penatus R. Candrasentika sebegai penggantinya adalah anak angkatnya  bernama R. Wirawijaya atau Wiradiwirya kurang lebih tahun  1898 putra dari R. Kramawijaya Penatus Kracak.

Penatus R. Wirawijaya atau Wiradiwirya menurunkan :

 

  1. Nganten Sutadi al Sutardar ( diperistri trah Bupati Cilacap R. M Cakrawerdaya )
  2. Sumbani ( Purwokerto )
  3. Sumbana ( Purwokerto )
  4. Nganten Sudimah Wangsadikrama ( diperistri Wangsadikrama atau Wangsacitra atau Wangsabesari trah keturunan R. Ngabdehi Singadipa )
  5. Nganten Kaimah Singareja ( istri Lurah Cidora )
  6. Suprapto ( Jakarta )
  7. Nganten Kusen ( istri Carik Jambu )
  8. Nganten Kaisah R. Sukirman ( istri Lurah Kracak )
  9. Nganten Sutimah Jamil ( Canduk )
  10. Nganten Mutmainah ( Madiun )
  11. Nurjamal
  12. Subagya

 

Penatus R. Wirawijaya adalah demang penatus terakhir yang setidaknya masih terdata di Kasunanan Surakarta Hadiningrat, setelah beliau wafat  Kapanatusan  Canduk dijabat oleh Raden Merta yang konon masih trah kerabat Demang Canduk dari  R. Surawijaya (putra ke 4 dari Demang R. Candrajaya I ).

24

Pada masa berakhirnya  kekuasaan Penatus R. Wirawijaya atau R. Wiradiwirya kurang lebih tahun 1934, untuk menentukan pengganti Penatus Canduk terjadi konflik permasalahan dikalangan kerabat keluarga trah Demang Canduk, masing-masing trah keturunan merasa berhak atas kedudukan penatus. Dikarenakan putra yang laki-laki dari Penatus R. Wirawijaya tidak ada yang bersedia untuk meneruskan kedudukannya sebagai penatus karena berada diluar Canduk dan masing-masing sudah mempunyai kedudukan/jabatan di pemerintahan sehingga disibukan dengan pekerjaannya, akhirnya setelah Penatus R. Wirawijaya wafat kedudukan Penatus Canduk dijabat oleh Raden Merta sampai dengan Kemerdekaan RI tahun 1945.                                                                                       

Setelah Kemerdekaan RI tahun 1945 Kademangan atau  Kapanatusan Canduk beralih menjadi Desa Canduk yang Kepala Desa atau Lurahnya dipilih secara langsung oleh warga masyarakat Canduk sampai saat ini.

 

Bahwa kurang lebih tahun 1950, Pendopo Agung  Kademangan Canduk dan rumah tempat  tinggal Demang beserta perlengkapan serta arsip-arsip  kademangan berpindah ke Desa Tinggarjaya Jatilawang waktu itu Kepala Desa atau Lurahnya dijabat oleh Abu Marji yang masih trah Demang Canduk dari ayahnya yaitu Penatus Sastrawijaya.

 

Kemudian kurang lebih tahun 1955 Pendopo Kademangan Canduk beserta perlengkapanya dipindah lagi ke Desa Gumilir Cilacap oleh Bau Salim, setelah melalui proses perbaikan oleh Bau Salim Pendopo tersebut berdiri kembali dan sekarang Pendopo tersebut masih berdiri di Desa Gumilir Cilacap.

 

  1. Peninggalan dan Petilasan Kademangan Canduk

 

  1. Keturunan atau trah Demang Canduk disamping ada di Desa Canduk Kecamatan Lumbir Kabupaten Banyumas, Cilacap dan sekitarnya tapi sudah menyebar ke wilayah lain di Indonesia dan bahkan di luar negeri namun belum ada wadah yang dapat untuk komunikasi bagi keluarga besar trah Demang Canduk. sampai saat ini Kepala Desa terpilih di desa Canduk secara berganti masih trah keturunan Demang Canduk.

 

  1. Pendopo Kademangan Canduk, pada masa Kademangan bangunan tersebut lebih dikenal dengan Pendopo Agung Demang Canduk, yang dibangun atau berdiri pada tahun 1762 Masehi atau tahun 1700 tahun jawa Banyumas oleh Demang Agung R. Candrapraya Candrajaya, bangunan pendopo atau joglo Kademangan semula berdiri menghadap selatan, terdapat  jalan melintas horizontal didepan pendopo dan jalan

 

25

 

 

  1. lurus di depan pendopo kearah selatan, bangunan pendopo membelakangi gunung Batur di arah utara.

 

Bahwa kurang lebih tahun 1950, Pendopo Agung  Kademangan Canduk dan rumah tempat  tinggal Demang beserta perlengkapan serta arsip-arsip  kademangan berpindah ke Desa Tinggarjaya Jatilawang waktu itu Kepala Desa atau Lurah Tinggarjaya dijabat  oleh Abu Marji yang masih trah Demang Canduk dari ayahnya yaitu Penatus Sastrawijaya.

 

Kemudian kurang lebih tahun 1955 Pendopo Kademangan Canduk dipindah lagi ke Desa Gumilir Cilacap yaitu Bau Salim setelah melalui proses perbaikan oleh Bau Salim Pendopo tersebut berdiri kembali dan sekarang Pendopo tersebut masih berdiri di Desa Gumilir Cilacap.

 

  1. Masjid Canduk, yang berdiri relatif bersamaan waktunya dengan pembangunan pendopo agung oleh Demang R. Candrapraya, masjid tersebut berdiri  didepan sebelah kanan pendopo, dan masjid tersebut sampai saat ini masih berdiri di desa Canduk dan bangunan masjid sudah mengalami perubahan dan renofasi tidak sama dengan bentuk semula, konon bangunan masjid dan pendopo Demang  Canduk dirancang oleh Demang Nurdaiman dari Gumelem.
  1. Makam Kademangan Canduk, makam ini berada di desa Canduk terletak disebuah bukit berundak, pada bagian puncak bukit terdapat makam para Demang Canduk : R. Candrajaya I, R. Candrajaya II, Demang Penatus : R. Candrasentika , R. Wirawijaya dan R. Kramawijaya ( Penatus Kracak ) serta makam kerabat Kademangan lainnya, sedangkan Demang R. Candrapraya  tidak dimakamkan dipemakaman Canduk, sampai saat ini kami belum dapat mengetahui dimana makamnya masih dalam Penelusuran.
  1. Pusaka dan lambang-lambang Kademangan Canduk berupa : Wuluh gading, Canthuk emas, keris, tombak dll, dan bendera sampai saat ini belum terlacak keberadaannya.

 

  1. PENUTUP

 

Demikian sekilas tentang Kisah Cerita Demang Canduk ini kami susun, semoga dapat bermanfaat, terima kasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah membantu serta kami sangat  mengharap saran petunjuknya, dan apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan  dengan segala kerendahan hati kami memohon maaf.

Terima kasih